Resume Ke : 22
Gelombang : 21
Tanggal : 23 November 2021
Tema : Menguak Dapur Penerbit Mayor
Narasumber : Edi S. Mulyanta
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr wb
Salam sejahtera untuk sahabat literasi, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT, diberi kesehatan, kekuatan dan semangat untuk terus berbuat amal. Sehingga apa yang kita tulis benar-bena rmemberi manfaat yang baik kepada banyak orang. Dengan begitu pundi-pundi amal semakin bertambah banyak. Pertemuan ke 22 dari sekian banyak pertemuan yang direncanakan, mampu memberikan semangat yang luar biasa besarnya. Kalau sebelumnya sedikit berat kita sudah sedikit mengurangi beban itu. Melihat materi sebelumnya di pertemuan ke 18 tentang mudahnya menerbitkan buku di penerbit indie, kalau sebelumnya juga membahas tentang ada dua penerbit yaitu penerbit indie dan penerbit mayor. Yang mana penerbit indie sudah pernah dibahas di pertemuan ke 18, maka pertemuan kali ini kita akan membahas mengenai dapur dari penerbit mayor.
Seperti biasa pertemuan dibagi menjadi beberapa bagian, pembukaan, penyampaian materi, diskusi, penutup. Kali ini do moderatori oleh ibu Helwiyah dan Narasumber nya adalah bapak Edi S. Mulyanta. Beliau seorang publishing consultan pada penerbit ANDI Yogyakarta, yang merupakan penerbit mayor yang akan membersamai dalam membahas materi "Menguak Dapur Penerbit Mayor". Seperti biasa kita perkenalkan profil beliau bergelut dengan dapur penerbit sudah 20 tahun lamanya.
Berikut profil singkat beliau
Industri : Komunikasi atau Media
Jabatan : Electronic Books Publisher
Lokasi : Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
Perkenalkan Diri Anda founder pbuandi.com, ebukune.my.id, dan bukudigital.my.id sebuah situs penjualan e-book
Minat : e-book, musik, olahraga, bonsai
Film Favorit : avatar
Musik Favorit : musik klasik, jazz
Buku Favorit : Bumi Manusia - Pramoedya
Di era pandemi covid-19 dirasa memang cukup berat bagi semua penerbit, baik penerbit dengan skala kecil yang biasa disebut penerbit indie hingga penerbit skala besar yaitu penerbit mayor. Semua ikut berlomba - lomba untuk hanya sekedar bertahan hidup dari terpaan badai covid yang tanpa mengenal pandang bulu siapapun bisa dihampirinya, yang berimbas ke berbagai sektor termasuk penerbitan buku.
Sejak maret 2019, penerbit-penerbit berusaha dengan berbagai cara untuk bisa bertahan hidup dari terpaan badai covid-19 dan mencoba tetap eksis dengan berbagai cara. Hal tersebut membuat dunia penerbitan bergegas untuk mengubah haluan visi misi mereka ke arah yang lebih up to date, menyongsong perkembangan teknologi yang lebih cepat dibandingkan perkembangan dunia bisnis penerbitan secara umum. Yang akhirnya beberapa penerbit yang tidak dapat mengikuti perkembangan jaman, mencoba mengurangi intensitas terbitan bukunya, yang berimbas pula ke jumlah produksi buku mereka, dan memukul pula pendapatan atau omzet buku mereka. Penerbit buku di bawah IKAPI adalah penerbit yang mementingkan UUD (Ujung-ujungnya Duwit) untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Secara otomatis cash flow akan terganggu, sehingga banyak penerbit akhirnya berpindah haluan ke usaha yang lain.
Skala penerbitan,
skala penerbitan yang sering digunakan untuk menyebutkan penerbit mayor dan penerbit minor (indie). Pada dasarnya konsep penerbitannya sama, yaitu mempublikasikan hasil tulisan dari penulis yang menjadi mitranya.
Secara umum tugas dari penerbitan adalah memberikan layanan industri, dalam menerbitkan atau mempublikasikan hasil tulisan karya tulis dari penulis. Penerbit hanyalah sebagai Intermediary atau perantara dalam proses publikasi sebuah tulisan. Tugas penerbit adalah menghasilkan keuntungan dalam setiap buku yang diterbitkannya. Yang membedakan jenis penerbit adalah jumlah buku yang diproduksi atau skala produksi setiap penerbit yang tergabung dalam anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) tersebut. Skala produksi ini tercermin dalam ISBN setiap buku yang diterbitkan oleh penerbit tersebut. Melalui ISBN ini dapat diketahui penggolongan skala produksi buku yang dihasilkan setiap tahunnya.
ISBN untuk apa?
ISBN dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional, yang diberikan hak oleh negara untuk memberikan nomor-nomor yang dikuasainya tersebut untuk dibagikan kepada penerbit di Indonesia. Dikutip dari https://isbn.perpusnas.go.id/ bahwa ISBN (International Standard Book Number) adalah kode pengidentifikasian buku yang bersifat unik. ISBN terdiri dari deretan angka 13 digit, sebagai pemberi identifikasi terhadap satu judul buku yang diterbitkan oleh penerbit. Merupakan pengindentikasian unik untuk buku-buku yang digunakan secara komersial.
Sejarah ISBN
Setelah mengetahui pengertian ISBN. Kita akan bahas tentang Sejarah ISBN. Awal mulanya sejarah sistem ISBN muncul di Britania Raya pada tahun 1966 oleh seorang pedagang buku dan alat tulis yang bernama W H Smith. Sebelumnya ISBN disebut Standard Book Numbering atau SBN dan digunakan hingga tahun 1974.
Dari dulu ternyata ISBN dipergunakan untuk memudahkan untuk mendata dan mengindeks koleksi buku cetak.
Ya, kita tahu sendiri ketika buku berkumpul, pasti akan pusing mencarinya. Jika ada 800.000 buku, kita mencari secara manual, akan memakan berapa lama coba? Pasti berjam-jam atau mungkin berhari-hari, belum nemu bukunya, sudah habis kesabaran dulu.
Maka dari itu, Smith memperkenalkan istilah ISBN ini untuk memudahkan dalam pencarian buku. Jadi, Smith dahulunya pengoleksi buku asal Inggris. Dimana buku tersebut sudah diarsip dan dicatat ke system komputer.
Gambar ISBN
Nah, ISBN ini dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional, yang diberikan hak oleh negara untuk memberikan nomor-nomor yang dikuasainya tersebut untuk dibagikan kepada penerbit di Indonesia.
Angka yang terdapat di publication element tersebut adalah jumlah produksi buku yang dapat dilakukan oleh penerbit tersebut. Melalui angka ini terlihat berapa kekuatan produksi buku yang diterbitkan oleh sebuah penerbit. Secara materi terbitan, sebenarnya tidak ada bedanya antara penerbit mayor dan minor. Hanya terkadang penerbit tertentu memilih spesialisasi pada Genre tertentu untuk lebih fokus dalam produksi maupun pemasarannnya. Secara otomatis. karena jumlah produksi cukup besar, akhirnya penerbit mayor mempunyai saluran pemasaran yang cukup beragam yang sering disebut Omni channel Marketing selain tentunya outlet di Toko Buku.
Dampak Pandemi Covid
Hampir sama dengan penerbit lainnya, bahwa dampak ini sangat dirasakan semua lini produksi di perusahaan penerbitan tak terkecuali penerbit mayor. Yang unik selama pandemi ini, adalah saluran toko buku mengalami kontraksi yang cukup dalam, sehingga saluran outlet toko buku pun menyesuaikan dengan berpindahnya proses pemasaran ke sistem online, maupun digitalisasi materi dalam bentuk media lain selain tulisan. Yang menjadi tantangan ini cukup berat bagi penerbit-penerbit dengan skala kecil, yang hanya menggantungkan outletnya di toko buku. Karena imbas dari Lock Down diberbagai sentra ekonomi, menjadikan saluran penjualan buku semakin sulit bejualan.
Yang akhhirnya memanfaatkan media-media baru sebagai sarana promosi buku pun berkembang seperti channel Webinar, Podcast, IG Live, WA Group seperti group kita ini, mejadi media promosi yang luar biasa berkembang. Walaupun begitu hal yang unik dari Pandemi ini, adalah Buku Cetak masih menjadi pilihan pembaca dalam memperluas cakrawala pikirnya. Di samping Elektronik Book juga baru dalam tahap embrio berkembang. Penerbit di mata pembaca, menjadi sama, semua berjuang untuk tetap bertahan. Sehingga menjadikan iklim penerbitan secara umum tidak surut selama pandemi ini.
Gairah penulis di masa pandemi
Selalu berusaha tidak kurang dalam menjaring tulisan-tulisan baru yang bermunculan luar biasa banyak selama pandemi. Karena dengan adanya work from home membuat waktu luang banyak digunakan dirumah sehingga mendorong untuk lebih kretif menyalurkan ide-ide kreatif ke dalam bentuk tulisan.
2 Tahun pandemi, semangat menulis penulis-penulis baru sangat luar biasa, dengan banyaknya tulisan yang masuk di tempat kami. Hal ini tidak diimbangi dengan pendapatan penjualan buku yang sangat tergerus dengan adanya Covid 19 yang telah mencapai gelombang ke 2 di tahun 2021 ini. Saat awal tahun 2021 penerbit di Indonesia sebenarnya telah mulai bangkit, tercermin dalam pendapatan pada bulan Januari dan Februari yang telah mencapai tahap memantul ke atas.. tetapi sayang masuk di tahap gelombang 2 covid betul-betul meratakan pendapatan ke level yang terendah. Kami dengan terpaksa melakukan pengereman produksi yang luar biasa ketat dalam mengantisipasi hal tersebut. Strategi yang kami lakukan adalah dengan menyimpan tenaga, energi penulis yang tidak lekang oleh pandemi, dengan tetap melakukan seleksi-seleksi materi buku yang menarik.
Menabung naskah, adalah strategi dalam menghadapi pandemi, walaupun ada hal yang harus dikorbankan yaitu proses cetak fisik buku yang terkendala. Hal ini kami siasati dengan menerbitkan E-Book untuk mempercepat proses penerbitan sebuah buku. E-book adalah sarana media digital buku yang masih sangat muda, sehingga proses bisnis yang menyertainya belum bisa mengangkat proses industri perbukuan yang masih ditopang cetak buku fisik.
Tantangan Penerbit di masa depanKe depan kami menyadari, bahwa buku fisik masih akan tetap bertahan. Hanya proses pemasarannya yang berubah mengikuti jaman. E-book akan tetap menarik karena konsep praktis, ramah lingkungan, dan menjanjikan keterbukaan dalam menerima media-media lain sebagai media pengayaannya. Google dengan sigap juga telah mencoba peruntungannya di era digital ini, yaitu dengan Google Books nya menjadikan konsep digitalisasi e-book sudah mencapai ke industrialisasi digital masa depan.
Tantangan penerbit baik mayor maupun minor, adalah kecepatan dalam menguasai teknologi ini ke depan. Dengan konsep multimedia, pengawinan antara media-media baru, menjadikan buku akan semakin mengecil secara fisik. Apalagi ada konsep baru dalam dunia digital yaitu konsep Metaverse yang diusung Face Book, dunia digital akan semakin kaya. Penguasaan tekonologi harus cepat dikuasai, sehingga media buku di Indonesia akan semakin maju dalam mengikuti perkembangan jaman. Buku akan diperkaya dengan media-media lain, yang akan saling mengisi kelemahan secara alamiah media-media tradisional tersebut.
Sebagai penulis, harus memberikan pengayaan-pengayaan tidak hanya kemampuan tulis belaka. Akan tetapi pengembangan di sisi penulis harus diberdayakan. Seperti penulis mempunyai Blog, Channel Youtube, Twitter, Podcast, bahkan Tiktok yang dapat dijadikan sarana promosi tulisan bukunya. Hal ini akan memberikan rangsangan penerbit untuk tidak mampu menolak tulisan penulis karena followernya banyak, menjadi selebriti di Youtube, atau Selebriti Tiktok.
Ke depan materi tulisan tidak akan melulu dijadikan alasan penerbit dalam menerbitkan buku, akan tetapi kemampuan penulis dalam membantu mempromosikan tulisan lah yang menjadi primadona penulis-penulis baru. Persaingan penerbit akan semakin keras, tidak memandang penerbit mayor maupun minor. Hal ini karena ke depan proses penerbitan bisa dilakukan sendiri oleh penulis. Lihat saja bang Tere Liye yang dapat memproduksi sendiri tulisannya melalui Google Books.
Tere liye
Penulis Tere Liye yang menerbitkan bukunya sendiri tanpa kesulitan, memang Genre tertentu penulis dapat bermain sendiri memproduksi bukunya. Pintar-pintar penulis dalam mengelola tulisannya. Ada yang dapat dikerjakan sendiri, ada dapat berkolaborasi penerbit baik minor maupun mayor. Semua akan jalan di jalannya masing-masing dan tidak akan saling berebut akan tetapi tetap menghasilkan keuntungan. Akhirnya, semua unsur Dunia penerbitan akan menjadi lebih berwarna dan saling menguntungkan dari penulis, penerbit, hingga pembaca buku dengan terbentuknya dunia digital yang cukup menjanjikan ke depannya.
Jangan segan-segan bapak ibu menawarkan tulisannya ke berbagai skala penerbit, karena saat ini konten adalah raja-nya sehingga penerbit memerlukan kesegaran konten yang dapat dikembangkan menjadi komoditas yang menguntungkan. Pelajari karakteristik penerbitnya, dengan melihat hasil-hasil terbitannya. Setiap penerbit mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Penulis adalah makhluk bebas, yang dapat menawarkan ke semua penerbit. Tinggal kepintaran bapak ibu sekalian dalam mengatur strategi, kemampuan, dan memilah serta memilih penerbitan.
Kita dapat memulai dari menulis di notepad, wattpad, menulis di media sosial. Dengan begitu follower akan dipantau oleh penerbit-penerbit mayor. Penerbit minor, juga tidak kalah kreatifnya dalam menjaring penulis. Dengan banyaknya syarat-syarat kenaikan pangkat guru, dosen, hingga guru besar, menjadikan penerbit-penerbit saling bersaing mengisi peluang tersebut.
Faktor penting
Hal yang penting sebagai penulis adalah, jaga kejujuran, jaga idealisme, dan selalu belajar dari berbagai genre tulisan orang lain. Mengukur diri, dan menyesuaikan dengan kemampuan diri, menguliknya akan menjadi daya tawar yang baik bagi tulisan bapak ibu saat ditawarkan ke penerbit. Ke depan persaingan penerbit tidak hanya antarpenerbit akan tetapi dengan digitalisasi yang menjadikan persamaan derajat antara penulis, penerbit, penyalur, dan pembaca buku.
Sebagai penerbit mayor saat ini tidak kekurangan naskah untuk diterbitkan, hanya kekurangan likuidasi dalam memproses naskahnya menjadi sebuah tulisan atau media lain ke pembaca. Saat ini yang menjadi masalah adalah media apa yang sesuai dalam mendukung sebuah terbitan buku.
Dari ulasan diatas yang seperti apa penerbit berusaha tetap bertahan dari gempuran jaman yang semakin maju dan modern serta badai covid-19 yang menerjang memporakporandakan semua sektor industri, termasuk dunia penerbitan. Pelajaran yang bisa kita petik adalah agar selalu semangat walaupun kondisi kurang menguntungkan, dengan begitu badai akan berlalu dengan seiring usaha yang kita lakukan.